antara malu, butuh dan harga diri

Sering terjadi pertentangan antara malu dan butuh, terkadang malu terkalahkan oleh kebutuhan. Tetapi tidak jarang juga kebutuhan tak terlaksana/tidak tercapai karena malu.

Sebenarnya malu (budaya malu) itu harus dipelihara, karena menurut agama malu itu sebagian dari iman, tak punya malu artinya sebagian imannya tidak ada. Tapi menurut ungkapan memelihara malu itu akan sesat di jalan, yaitu kalau malu bertanya.

yang jadi soal kapan malu harus mengalah kepada kebutuhan, dan dalam situasi apa malu harus menjadi pemenang (pengendali) dalam mencapai kebutuhan. Dalam hal apa kita harus malu dan dalam hal apa tidak boleh/jangan malu-malu?

sebuah perbandingan dalam memakai kata malu dalam mencapai kebutuhan/harapan/cita-cita

1) “malu, kalau saya gagal menjadi kepala desa dalam pemilihan nanti”

2) “Malu, kalau saya harus korupsi”

Dalam kedua kalimat diatas “malu” = “gengsi/harga diri”

Pada kasus pertama untuk tidak malu (memenuhi harapan) mungkin dengan cara melupakan budaya malu, sehingga bisa terjerumus kedalam hal yang memalukan,  sedang pada kasus kedua untuk memenuhi harapan/kebutuhannya tidak ingin terjerumus kedalam hal yang memalukan, maka dia akan memelihara budaya malu agar kemudian tidak malu.

jadi ada yang tidak ingin malu dengan membuang budaya malu, ada juga yang ingin tidak malu dengan memlihara/mempertahankan budaya malu.

menjadikan DPR yang Efesien dan berbudi

Saya sempat berpikir, seandainya jumlah anggota DPR sebagai wakil rakyat dikurangi dari yang ada sekarang, apa untung ruginya, ya? Apa bisa mewakili kalau 1 (satu) orang DPR mewakili 2 juta penduduk sehingga kalau jumlah pemilih 200 juta jiwa, hanya butuh 100 orang anggota DPR saja. Berarti hemat 400 orang kali pendapatan anggota DPR seperti di bawah

Baca lebih lanjut